Ulangan kali ini berbeda. Kartu peserta dikumpulkan oleh guru pengawas dan menempatkan kartu-kartu itu secara acak. Di mana kartu itu berada, di situlah tempat duduk siswa yang bersangkutan selama ulangan berlangsung.
Kami berbaris di depan kelas. Siswa perempuan dipersilahkan masuk lebih dulu untuk mencari di mana tempat duduknya. Aku menemukan kartu peserta ulanganku di sudut, tergeletak di meja belakang. Sebagai siswa yang sering ditempatkan di depan, aku sedikit kecewa dengan cara baru ini.
Giliran siswa laki-laki masuk.
OMG! Aku terperanjat saat melihat Rio, sang ketua kelas. Siswa terpintar di kelas dan tentu saja paling cakep itu sedang berjalan ke arahku. Mengapa tadi aku tak melihat kartu di meja depanku? Mungkinkah?
Serasa ingin pingsan saat mengetahui Rio duduk tepat di depanku. Aku salah tingkah. Diam-diam menatapnya dari belakang. Rambut dan tengkuknya jadi sasaran mataku. Oh, dari belakang saja sudah cakep! Tak pernah aku sedekat ini dengannya. Bergerak sedikit saja, aku berusaha tak menimbulkan suara keras. Bahkan untuk bernapas!
Kertas ulangan untuk sesaat bisa membuatku sedikit fokus. Meski saat menemukan soal sulit, mataku tanpa sadar menatap teman yang lain. Aku sedikit terkejut saat bertemu mata dengan Yulia. Sesekali pula dengan Rahmi. Lalu Desy.
Satu jam berlalu.
Rio berdiri. Kayaknya dia sudah selesai. Aku tidak heran kalau dia cepat mengumpulkan jawaban. Aku keluar beberapa menit kemudian.
Depan kelas, rupanya Yulia, Rahmi, Desy, Via, dan Yanti telah menungguku.
“Nur, gimana rasanya duduk di belakang Rio?”
Eh?!
“Bisa lihat jawabannya, gak?”
Aku menggeleng. Aku memang tak terbiasa nyontek.
“Kamu gak pusing cium aroma parfumnya?”
Hah?! Pertanyaan macam apa ini? Itu mereka tanya karena kasihan atau sirik, sih?
Aku langsung ngeloyor meninggalkan mereka. Setidaknya, seminggu ini Rio masih duduk di depanku. Besok, aku masih bisa mencium aroma parfumnya yang tadi tak sempat terpikirkan.
***
Jumlah kata: 287
Tag:cinta monyet, fiksi, flash fiction, parfum, prompt, ulangan
Komentar