[BeraniCerita #09] Pencari Suaka

1 Mei

Aku kaget saat suatu siang mendapati di ruang tamu rumahku, seorang perempuan berkerudung hijau dengan garis wajah India, duduk dengan kelima anak perempuannya.

Tetanggaku, seorang lelaki besar dengan perut buncit, menghampiriku lalu membisikkan sesuatu.

“Hanya sementara. Mereka sedang dikejar pihak Imigrasi.”

Aku mengangguk. Paham apa maksudnya. Sebelum ini, aku sudah sering melihat pria-pria berwajah Timur Tengah berada di rumahnya.

Kuhampiri perempuan itu dan mengajaknya ke ruang tengah.

“India?”

“Bukan, Myanmar.”

Eh?!

“Bisa bahasa Indonesia?”

Sikit. Lama tinggal di Malaysia.”

“Berapa lama?”

“Dua puluh dua tahun.”

Oooo…

“Itu… anak yang paling kecil berapa tahun?”

“Baru dua bulan.”

Heh?! Sekecil itu sudah dibawa mencari suaka? Kupandangi wajah anak-anaknya yang memiliki kecantikan wajah khas India.

Baca lebih lanjut

[#CerMin] Mengenangmu dalam Hening

30 Apr

Mengenangmu dalam Hening

#CerminBentang Minggu 1. Tema: Kopi/Coffee

Ditulis oleh:  @nurusyainie

Tepat seminggu setelah kepergianmu. Sakitku masih berdarah. Kehilanganmu masih membuatku limbung. Jiwaku masih belum menerima sepenuhnya. Semua begitu tiba-tiba. Tanpa firasat, tanpa tanda.

Sore itu, aku menunggumu seperti biasa. Aku gelisah saat melewati jam pulangmu. Jemputan mobil pabrik yang membawaku ke rumah sakit, menjawab tanya dihatiku tentang keterlambatanmu, sekaligus memberi kenyataan pahit. Aku kehilanganmu karena sesuatu yang dinamakan serangan jantung.

Hari ini aku mengumpulkan semua benda milikmu. Aku berhenti pada seragam biru yang terakhir kamu pakai. Aroma kopi masih melekat. Kuhirup dalam-dalam wangi itu. Kupeluk erat seakan memeluk dirimu.

Aroma kopi selalu mengingatkanku padamu. Setiap pulang kerja, kamu membawa dua bungkus kopi instan dari tempatmu bekerja di pabrik kopi. Lalu kita akan menikmatinya sambil menatap sunset dalam diam. Sesekali aku mencuri pandang ke arahmu. Pandangan yang membuatku jatuh cinta berulang kali.

Pertama kali, aku pernah bertanya tentang kebiasaanmu itu.

“Kopi, sunset, dan hening. Aku menyukai perpaduan ketiga hal itu.”

“Lalu, aku berada di mana?” protesku.

Kamu menoleh, lalu tersenyum. “Senja, kehadiranmu menyempurnakan ketiga hal itu.”

Pendar mentari sore membuatku makin rindu. Kusampirkan seragammu dan berjalan ke dapur.

Kuseduh secangkir kopi lalu membawanya ke beranda. Perlahan kuhirup. Mataku tak lepas memandang warna jingga di ufuk barat. Aku ingin mengenangmu dalam hening.

***

Bantu vote Cerita Mini ini agar menjadi Cermin of the Month (April 2013) ya teman-teman :Dwaktunya tinggal 2 hari
Caranya klik di sini. Setelah klik link, liat di kanan atas. Pilih: Mengenangmu dalam Hening – @nurusyaine

Makasih ya ^.^

[#CerMin] Omar

29 Apr

Kamera SLR masih menggantung di leherku. Aku baru saja memotret dua bocah, Yassin dan Amal. Mereka begitu manis dan masih terlalu kecil untuk menyadari situasi mencekam yang ada di sekitar mereka. Sebagai wartawan yang dikirim ke Myanmar -tepatnya di utara Rakhine di mana banyak etnis Rohingya berdiam- aku banyak menemukan fakta yang hampir sama dengan yang aku dengar. Kenyataannya bahkan lebih parah!

Keadaan mereka sangat memprihatinkan. Kemiskinan seolah menjadi denyut nadi yang tiada habisnya. Sepanjang mata memandang banyak bangunan dan lahan pertanian yang rusak. Sebagian tinggal di puing runtuhan rumah, sebagian tinggal di tenda-tenda bantuan negara lain.

Dari hasil berbincang dengan Omar, salah seorang penduduk yang menjawab dengan bahasa Inggris seadanya, aku mengetahui bahwa mereka dianggap imigran gelap oleh pemerintah. Akses pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan layak tertutup bagi mereka. What? Bagaimana mungkin ada suatu etnis yang berdiam puluhan bahkan ratusan tahun di salah satu Negara Bagian di Myanmar, tidak diakui sebagai warga negara dan hak-haknya tak terpenuhi?

Baca lebih lanjut

Aku, Flash Fiction, dan Kritikanku

23 Apr

“Jatuh cinta itu seperti saat saya berkenalan dengan FF untuk pertama kalinya.”

Berawal dari ikut sebuah audisi menulis dengan syarat harus berbentuk Flash True Story (FTS). Peserta diberi link untuk mempelajari Flash Fiction (FF) untuk bisa memahami FTS. Perbedaannya kan hanya difiction dan true story itu.  Maka saya klik-lah link tersebut. Saya terdampar di forum FF yang saya tak bisa lepas dari pesonanya sejak saat itu.

Sayangnya, saat itu saya tak bisa tembus untuk bergabung ke forumnya. Jadi kalau mau dihitung saya mengenal FF itu *ngitung jari* sejak satu tahun dua bulan yang lalu. Whew, masih baru banget ternyata!

Sejak saat itu saya meminum ilmu apa pun tentang FF untuk mengatasi kehausan saya. Saya pernah terdampar di suatu blog yang khusus membahas FF 100. Banyak artikel menarik. Bahkan ada tahap per tahapnya. Wah, saya makin haus. Lewat TL twitter juga saya kembali diarahkan ke blog seorang editor yang banyak mengupas soal naskah cerpen dan novel.  Saya belajar tentang kelogisan fiksi. Di situlah saya menyadari bahwa kemerdekaan kita menulis fiksi bukan berarti mengabaikan satu hal itu. Jika kita hanya sekedar iseng menulis mungkin tidak akan berarti apa-apa. Tapi jika berpikir untuk menerbitkan tulisan tersebut maka kita akan berhadapan dengan seorang editor yang tak tanggung-tanggung akan mengupas segala hal.

Baca lebih lanjut

[Review] Satu Masa di Cielo

22 Apr

Judulnya romantis. Itu pikiran pertama yang terlintas saat membaca judul buku “Satu Masa di Cielo, The Chocolate Stories”. Awalnya, saya mengira Cielo itu nama suatu daerah di negeri Eropa. Hmmm, setting luar nih, gitu pikir saya sebelum membaca buku ini. Rupanya saya salah.

Satu Masa di CieloJudul Buku : Satu Masa di Cielo, The Chocolate Stories
Penulis : Nugraha Sugiarta
Penyunting: Sandria Komalasari
Penerbit : Denu Publishing

Tebal : vi + 119 halaman

Seperti yang bisa ditebak, buku ini memang semua tentang coklat. Cielo, nama sebuah café yang mempertemukan tokoh-tokoh dalam kisah ini. Di sinilah cerita itu bermula. Di Cielo!

Dibuka dengan cerita seorang gadis yang alergi coklat. Permanen. Hingga pertemuannya dengan seorang lelaki, yang mengajaknya ke Cielo yang kembali mengenalkan rasa itu lagi di lidahnya.

Saya tahu gimana rasanya saat sesuatu yang sangat kita gemari tiba-tiba tidak bisa kita nikmati lagi. Dulu saya biasa menghabiskan beberapa potong coklat batang bermerk yang saya biarkan mencair dalam mulut. Saya tak dapat menahan diri untuk tidak terus memasukkan tiap potong ke dalam mulut hingga coklat itu benar-benar habis.

Akibatnya bobot tubuh saya bertambah. Saya menjadi gemuk! Saya masih ingat ekspresi teman-teman yang kaget melihat saya. Dan betapa risihnya, setiap kali mereka mengomentari bobot saya. Oh, God! Tapi saya benar-benar tidak dapat berpaling dari kenikmatan coklat.  Saya kecanduan coklat! Hingga saya memutuskan untuk tidak mengikuti keinginan menggebu itu. Jadi, saya benar-benar mengerti rasanya tak lagi menikmati coklat.

Cerita dan tokoh berganti.

Baca lebih lanjut

Bukan Hanya Sekedar Imajinasi

20 Apr

Awalnya, gw pikir komen gw di sini gak bakal mempunyai episode lanjutan karena gw sudah sering komen serupa di beberapa tulisan. Sesudah komen yah udah. Terima dan tidak kan tergantung orangnya toh.

Sempat terlupa. Hingga gw kembali komen pada tulisan lain di blog yang sama. Tapi kali ini komen gw memuji tulisan si pemilik. Karena gw tidak terbiasa bermanis-manis, jadi ketika komen gw tuh memuji berarti ada nilai plusnya di mata gw.

Nah, saat mau close blog tersebut, mata gw sempat melihat judul di sidebar kanan judul tentang Logika Fiksi. Nah, sebagai orang yang memang tertarik pada kelogisan fiksi, gw klik. Dan taraaaa… itu ternyata tulisan yang khusus dibuat karena komenan gw. Sumpah, gw langsung ngakak! Gak mengira kalau komenan gw membuat galau si empunya blog. *Ngaku loe*

Baca lebih lanjut

Terasing di Tengah Keramaian

14 Apr

Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu pertama.

Apa yang dapat kuceritakan tentang sekitar rumahku? Hanya ada bangunan tinggi di samping dan depan rumah yang menghalangi saya sekeluarga memandang langsung ke jalan raya. Juga hanya ada celah yang bisa dilalui sepeda motor sebagai jalan keluar masuk.

Rumah di lihat dari depan lorong

Rumah di lihat dari depan lorong

Rumah kecil berwarna putih itu terletak di belakang toko. Dan di lorong itu hanya ada rumah keluarga kami satu-satunya! Belakang rumah kami tertutup oleh pagar tinggi. Itulah yang membatasi kami dari bersentuhan langsung dengan tetangga belakang rumah.

Dulu, lorong rumah kami pernah dijadikan tempat lewat beberapa tetangga belakang. Sebenarnya tidak pernah ada jalan umum di situ. Beberapa tetangga belakang membuat jalan pintas karena lebih dekat dengan jalan raya. Tapi yang terjadi kemudian banyak sepatu, sandal, ayam piaraan, dan jemuran yang hilang. Bahkan bunga krisan ungu-ku pun pernah hilang diangkut dengan potnya. Saat itu saya sangat kesal karena bunga itu baru saja dibeli. Saya sampai mengerahkan anak-anak tetangga belakang untuk mencarinya. Saya pun turun sendiri kelapangan mencarinya. Mungkin karena hebohnya kasus bunga yang hilang itu, keesokan paginya bunga itu muncul kembali di teras rumah.

Kejadian-kejadian kehilangan yang terus berulang itu membuat jalan sempit yang dibuat tetangga belakang itu ditutup.

Meski letaknya terasing dari rumah-rumah lain pada umumnya, rumah keluarga kami itu sangat strategis. Karena strategisnya itu, dulu sempat dijadikan sebagai tempat janjian oleh teman-teman saya maupun teman-teman adik saya.

“Iya, kita ketemu di rumahnya Nur saja.”

Begitulah sodara-sodara. Rumah itu sangat mudah didapat. Sungguh terlalu kalau sampai tersesat mencarinya karena begitu gampangnya ditemukan.

Baca lebih lanjut

Prompt #9: Sang Ketua Kelas

12 Apr

Ulangan kali ini berbeda. Kartu peserta dikumpulkan oleh guru pengawas dan menempatkan kartu-kartu itu secara acak. Di mana kartu itu berada, di situlah tempat duduk siswa yang bersangkutan selama ulangan berlangsung.

Kami berbaris di depan kelas. Siswa perempuan dipersilahkan masuk lebih dulu untuk mencari di mana tempat duduknya. Aku menemukan kartu peserta ulanganku di sudut, tergeletak di meja belakang. Sebagai siswa yang sering ditempatkan di depan, aku sedikit kecewa dengan cara baru ini.

Giliran siswa laki-laki masuk.

OMG! Aku terperanjat saat melihat Rio, sang ketua kelas. Siswa terpintar di kelas dan tentu saja paling cakep itu sedang berjalan ke arahku. Mengapa tadi aku tak melihat kartu di meja depanku? Mungkinkah?

Serasa ingin pingsan saat mengetahui Rio duduk tepat di depanku. Aku salah tingkah. Diam-diam menatapnya dari belakang. Rambut dan tengkuknya jadi sasaran mataku. Oh, dari belakang saja sudah cakep! Tak pernah aku sedekat ini dengannya. Bergerak sedikit saja, aku berusaha tak menimbulkan suara keras. Bahkan untuk bernapas!

Kertas ulangan untuk sesaat bisa membuatku sedikit fokus. Meski saat menemukan soal sulit, mataku tanpa sadar menatap teman yang lain. Aku sedikit terkejut saat bertemu mata dengan Yulia. Sesekali pula dengan Rahmi. Lalu Desy.

Satu jam berlalu.

Rio berdiri. Kayaknya dia sudah selesai. Aku tidak heran kalau dia cepat mengumpulkan jawaban. Aku keluar beberapa menit kemudian.

Depan kelas, rupanya Yulia, Rahmi, Desy, Via, dan Yanti telah menungguku.

“Nur, gimana rasanya duduk di belakang Rio?”

Eh?!  

“Bisa lihat jawabannya, gak?”

Aku menggeleng. Aku memang tak terbiasa nyontek.

“Kamu gak pusing cium aroma parfumnya?”

Hah?! Pertanyaan macam apa ini? Itu mereka tanya karena kasihan atau sirik, sih?

Aku langsung ngeloyor meninggalkan mereka. Setidaknya, seminggu ini Rio masih duduk di depanku. Besok, aku masih bisa mencium aroma parfumnya yang tadi tak sempat terpikirkan.

***

Jumlah kata: 287

Prompt #9: Wangi yang Sama

11 Apr

pelukan-ibuAku kaget tatkala Tisya telah berada di samping dan memeluk lenganku.
“Ada apa, Tisya?”
“Tante harum banget. Tisya suka!”

Aku bertatapan dengan Yoga. Aku gak pake parfum!

“Tante senang kalau Tisya suka.”

“Iya. Wangi tante mengingatkan Tisya pada Bunda. Tisya serasa meluk Bunda.”

Lagi-lagi aku bertatapan dengan Yoga.

Apa maksudnya? Yoga menggeleng.

Aku menghela nafas. Mudah-mudahan ini reaksi positif Tisya akan hubunganku dengan ayahnya.

Sebelum berpisah…

“Menurut Tisya, wangi tante kayak apa?”

Mata bulatnya menerawang. “Dulu, waktu bunda masih ada, Tisya mencium wangi yang sama di mana-mana. Tisya suka. Sekarang tidak pernah ada lagi.” Dia menunduk. Sedih.

Sesampai di rumah, aku mencium lengan bajuku mencari wangi yang sama dengan yang dicium Tisya. Tapi aku hanya mencium aroma pewangi pakaian yang melekat dibajuku. Aku ke ruang cuci dan mendapati botol Downa merah yang wanginya sama dengan bajuku.

***

Jumlah kata: 136

[BeraniCerita #05] Cerita Malam Jum’at

3 Apr

Sepertinya suasana malam ini tidak begitu bersahabat bagi Riana. Angin yang dingin membuat dia memaki dirinya sendiri kenapa lupa membawa jaketnya yang tertinggal di mobil. Lorong yang tidak terlalu terang karena beberapa lampu mulai dimatikan. Dan kenapa tidak ada orang berseliweran? Padahal masih jam 8 malam.

“Nah, sebentar lagi sudah sampai di kamar Sinta.” Riana mencoba menghibur diri sendiri karena dirinya masih merinding. Cepat-cepat langkahnya diayun, sampai akhirnya dia berhenti tiba-tiba saat melihat sebuah tempat tidur dorong melaju cepat ke arahnya.

Riana menepi. Jeritan tertahan keluar dari mulutnya saat melihat suster yang mendorong brankar. Dia berlari. Entakan sepatunya bergema di sepanjang lorong. Di kejauhan dia melihat bayangan putih bergerak ke arahnya. Larinya terhenti. Menunggu dalam keheningan yang mengucurkan keringat.

suster tipisMakin dekat. Bayangan itu membentuk sebuah sosok.

“Ada yang bisa saya bantu?” Suster itu berhenti di hadapannya.

“Tadi… tadi saya melihat seorang suster tipis.”

“Oh, tipis seperti ini?” Suster itu menyamping menunjukkan badannya.

Aaaaaaaaaaa……

Riana menjerit. Melengking. Kakinya spontan berlari menjauh, tanpa menyadari dia semakin jauh dari kamar Sinta.

Tiba-tiba senyap.

Baca lebih lanjut