[Xenophobia] Di luar Zona Aman

6 Agu

Sepi.

Lorong itu panjang dan agak gelap.

Tiba-tiba kurasakan bulu kudukku berdiri. Suhu tubuhku serasa dialiri panas sesaat. Belum sempat kusadari apa yang sebenarnya membuat suhu tubuhku dialiri panas, mataku melihat kilauan sebuah benda yang tertimpa lampu jalan. Benda yang kini berada di leherku.

“Jangan bergerak.”

Uffth. Saya berhenti bernapas beberapa detik. Kekagetan itu membuatku limbung. Tidak… ini tidak nyata. Ini pasti mimpi. Tapi saat lelaki yang memakai kupluk itu menyeretku ke tepi jalan, baru saya menyadari ini nyata. Ada perih saat dia menarik tanganku.

Lelaki itu mengambil jam tangan dan uang beberapa lembar puluhan ribu.

“Kalung…”

“Ini imitasi.”

Lelaki itu tidak jadi mengambil kalung yang masih bertengger di leherku.

Lalu saya memohon dia membiarkan saya pergi. Namun dia masih mengulur-ulur waktu. Saat itu saya melihat ada beberapa orang yang lalu-lalang di dekat kami. Dia menutup mulut ini. Menjaga agar saya tidak berteriak minta tolong.

Butuh waktu beberapa menit, hingga dia melepaskan saya. Lalu, dia menghilang dikegelapan.

Melihat saya yang muncul tiba-tiba di kosan, teman sekos awalnya hanya heran karena baru beberapa menit yang lalu saya pamit akan pulang ke rumah orang tua selama akhir pekan. Tapi begitu saya cerita baru saja dirampok, suasana mulai agak gaduh. Tetangga kamar dan kakak senior yang tinggal di rumah kos sebelah, pun tak ketinggalan mengelilingiku.

Anehnya, saya masih seperti mimpi. Tak ada air mata… hanya sedikit shock saat menceritakan kejadian itu.

Teman kos yang laki-laki terlihat geram. Mereka menanyakan ciri-ciri lelaki itu, lalu mereka berpencar ke segala arah untuk mencari sosok seperti yang saya gambarkan. Dia belum jauh, karena kejadiannya baru beberapa menit lalu.

Singkat cerita… lelaki itu tertangkap. Seperti kisah-kisah pada umumnya, dia mengelak. Namun bukti kupluknya yang terjatuh, ditemukan saat siang hari di tempat kejadian.

Tiba-tiba saya berada di situasi yang hanya pernah saya tonton diberita kriminal. Saya berada di hadapan Pak Polisi yang mengetik keterangan saya, sebagai saksi korban. Dan, yang paling membuat saya tidak nyaman adalah ketika saya dipertemukan dalam satu ruangan dengan pelaku. Saya tatap lekat wajah si pelaku dengan kebencian. Juga wajah istrinya yang datang kemudian. Dengan berapi-api dia membela suaminya.

Kasus akan dilanjutkan nanti. Saya sudah diperbolehkan pulang.

Di rumah, saya merasakan kelelahan yang sangat karena belum istirahat sejak kejadian itu. Saya tak tahu berapa lama tertidur. Terbangun, saya duduk terdiam. Ketegaran yang coba saya tunjukkan selama berada di kantor polisi, menguap entah ke mana.

Kekerasan dan kriminalitas hanya ada dalam film action yang saya tonton. Hanya ada dalam pemberitaan di koran dan kejadiannya pun di suatu daerah antah berantah. Tak pernah terpikir bahwa salah satu kejadian itu akan saya alami.

Lingkungan yang selama ini -dengan lugunya, saya anggap aman, ternyata menyimpan suatu titik gelap.

Dunia saya berubah seketika.

Saya sempat tidak mau ke sekolah. Saya selalu khawatir kalau saya akan bertemu dengan pelaku atau keluarga pelaku di dalam angkot atau di mana pun saat berangkat sekolah. Setiap angkot yang saya tumpangi berhenti di depan lorong rumah pelaku, saya selalu was-was jika penumpang yang naik adalah keluarga pelaku dan mengenal wajah saya. Mereka bisa saja melakukan pembalasan.

Oh, ketakutan-ketakutan itu tentu saja sangat menyiksa, terlebih karena saya tak pernah mengutarakan kepada keluarga saya. Mereka tetap memperlakukan saya seperti sebelum kejadian itu terjadi. Mereka tetap mengajari saya mandiri dan tidak tergantung pada seseorang. Saya pun tidak mau merepotkan saat harus minta diantar ke sana ke mari. Jadi semua tetap saya lakukan sendiri, hanya kali ini disertai dengan kekhawatiran-kekhawatiran tersebut.

Kasus tak berlanjut.
Saya sendiri tidak paham mengapa tidak diteruskan. Dan tak ada yang bertanya kepada saya apakah saya mau menuntut orang tersebut atau tidak. Yang saya tahu kalau saya tak ingin masuk koran apalagi televisi. Saya tak ingin terekspose lebih jauh.

Saya pernah berharap kalau wajah saya akan sedikit berubah dan tak mudah dikenali seiring waktu berjalan. Tentu saja itu hal yang sangat tidak mungkin, karena sering kali saya bertemu dengan seseorang yang menegur saya di jalan sedang saya memasang tampang blo’on sambil memeras otak mencari siapakah gerangan orang tersebut.

Keinginan untuk tidak dikenali malah membuat otak saya memberi reaksi sebaliknya… sayalah yang mulai tidak mengenali kenalan lama. Hal yang sungguh memalukan. Kadang saya harus berhenti dulu untuk sekedar mengingat apakah yang menyapa tadi teman saat SD, SMP, ataukah SMA? Benar-benar parah daya ingat saya.

Kesibukan di sekolah, membuat saya sedikit demi sedikit melupakan kejadian itu. Terlebih karena teman-teman pun tak ada yang menyinggung kejadian tersebut di depan saya.

Agar tidak terpuruk dalam ketakutan yang saya simpan sendiri, saya masuk dalam suatu organisasi dan memiliki banyak kegiatan. Saya akui, itu membuat saya seolah-olah kembali menjadi diri saya.

Namun, tanpa saya sadari, bahasa tubuh saya menghindari suku tertentu. Teman-teman organisasi yang memiliki suku yang sama dengan pelaku, kurang saya akrabi. Saya tidak mau terlibat terlalu jauh. Terlebih jika membayangkan kalau diantara salah satu teman tersebut memiliki hubungan keluarga dengan pelaku. Oh, sungguh pikiran yang sempit. Tapi itu lah yang terjadi.

Perlahan tapi pasti, bayangan ketakutan akan kejadian itu perlahan memudar seiring dengan pemahaman keagamaan saya. Saya mulai bisa menerima bahwa dalam perjalanan hidup ini, saya pernah mengalami kejadian yang cukup traumatik itu. Saya yakin, Allah telah mendidik saya dengan cara-Nya. Meski untuk bisa sampai pada pemahaman tertentu, saya butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa melihat hikmah di balik kejadian tersebut.

Satu yang paling membekas dalam diri ini adalah bahwa dunia ini tidak aman untuk perempuan jika dia seorang diri.

* * *

Untuk berpartisipasi dalam woro-woronya mbak lessy.

Gambar diambil dari sini

Satu Tanggapan to “[Xenophobia] Di luar Zona Aman”

  1. Iwan Yuliyanto 21 September 2012 pada 6:05 pm #

    Sebagai kenang-kenangan selama di kampung Multiply, komentar-komentar dari kawan-kawan yang memeriahkan lomba Xenophobia ini sayangnya gak ikut keangkut di sini ya, mbak.

    Yang penting tetap semangat menulis ya, mbak.
    Just info, di Komunitas Blogger WordPress.com Indonesia ada kegiatan yang mengapresiasi blogger lho, saya tulis di sini:

    Penyejuk Hati: KOLOR INI & REPUBLIK MULTINESIA

Silahkan komentar... ^^ Jika tidak punya blog, masukkan url facebook atau twitter yah :)